Tojan Faishal
Tarqiyah : Seluruh tanah Palestina tanpa penduduk Arab atau Palestina. Itulah yang diinginkan Israel.
Sejarawan Israel, Illan Pappe, ketua Pusat Studi Palestina - Eropa di Universitas Exer menegaskan, solusi dua negara sudah “mati” sejak satu decade. Intifadah Palestina pertama telah mendorong dunia meminta Israel menjelaskan niatnya terhadap wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dalam masalah ini Israel berhati-hati dalam kesepakatan Olso II.
Oslo I yang dilakukan secara terbuka dalam pesta internasional mencakup prinsip-prinsip umum. Namun Oslo II yang agak rahasia, berhasil membagi wilayah Tepi Barat menjadi wilayah A dan B dan C sebagai permulaan pemerintahan otonomi terbatas Palestina di wilayah A saja.
Menurut Pappe, kesepakatan Oslo sekali-kali bukan rencana perdamaian di mata Israel. Ia hanya solusi berbalik bagi keinginan Israel dalam mempertahankan “tanah tanpa penduduk Arab” yang merupakan dilematis bagi zionis sejak didirikan.
Kerena tidak mungkin diterimanya politik “pembersihan etnis” (etnic clensing) di dunia modern saat ini, apalagi pembersihan secara fisik atas warga Palestina, maka Israel berubah menjadi system pemerintahan pemisahan rasis yang sangat kental yang dilarang oleh undang-undang internasional dan dunia tidak akan menerima percobaan Afrika Selatan untuk sekali lagi.
Hal itu terjadi di Gaza meski Israel menarik diri dari saja untuk membenarkan pemblokadean dan agresi terhadapnya yang menyebabkan kondisi krisis tiada bandingnya di kawasan, sementara pembersihan etnis di Tepi Barat dilakukan dalam bentuk diskriminati dalam memperlakukan warga dengan hak dan undang-undang yang berbeda antara warga asli dan warga pemukim Yahudi. Komunitas-komunitas pemukiman Palestina diisolasi di Tepi Barat sampai Israel membangun tembok rasis di jantung Tepi Barat. Sehingga secara riil, Israel menjadi “satu negara” yang melakukan diskriminatif terhadap warga Palestina.
“Solusi dua negara” (two nation state) dalam perundingan politik Palestina dan Israel sudah mati semenjak sebelum decade terakhir atau dilahirkan dalam keadaan mati atau diaborsi. Dengan datangnya pemerintah Ariel Sharon di awal decade lalu, realisasi secara detail dari rencana negara Yahudi di seluruh wilayah Palestina antara laut (Meditrania) dan sungai Jordania.
Dalam menghadapi serangan yang dialami oleh Sharon akibat penarikan diri sepihak dari Gaza, di tahun 2005, seorang Profesor di Universitas Tel Aviv Kerry Susman menulis artikel panjang menjelaskan bagaimana penarikan itu menjadi langkah penting bagi jalan menunju “yahudisme negara” yang menjadi impian negara zionis untuk mengisolasi warga Palestina dalam jumlah besar dalam wilayah yang sempit disertai permasalahan internal penduduknya.
Susman menulis, “pengepungan dan pengurungan” serupa akan dilakukan di wilayah-wilayah pemerintah otonomi Palestina di Tepi Barat dengan mengusir (memindahkan) warga Palestina lainnya dari wilayah jajahan Israel di Palestina 1948. Pengusiran terencana ini ingin membidik sedikitnya 5 juta warga Palestina di wilayah jajahan 1948 ke Tepi Barat. Di sisi lain, tekanan kependudukan juga diperkirakan akan melahirkan pasti imigrasi darurat ke luar wilayah Tepi Barat ke wilayah Jordania atau melalui Jordania kemudian ke luar.
Israel juga memiliki rencana menjadikan Jordania sebagai negeri alternative bagi Palestina dan negara konfederasi segitiga. Ini juga merupakan proyek Peres dimana Israel akan meliputi wilayah Jordania dan wilayah otonomi Palestina atau segiempat ditambah Libanon, seperti yang ditulis dalam memo Raja Abdullah II sebagai mimpi perdamaian dan kesehteraan ekonomi yang berusaha diwujudkan.
Di luar rencana, Suriah terpecah saat ini menyusul kemungkinan jatuhnya rezim Suriah. Jatuhnya Suriah berarti akan membuka peluang untuk menyerang Iran atau paling tidak mengakhiri Hezbollah.
Namun ini juga terbukti tidak mungkin karena antara Amerika dan Iran sudah ada kesepahaman.
Pembagian kawasan Arab sesuai rencana Syks Pico menjadi hal penting utama bagi berdirinya Israel. Apalagi Israel didukung oleh barat secara politik dan militer menjadi fakor arogansi Israel dalam hal ini.
Dengan menunggu terpecahnya Suriah yang sampai saat ini masih mempertahankan diri berada di luar lingkup perdamaian, Israel memanfaatkan usaha Jordania dan Otoritas Palestina untuk meneken kesepakatan-kesepakatan dengan Israel dalam konfliknya dengan Tepi Barat dan tempat suci.
Maka ditekenlah Oslo dimana Otoritas Palestina melepaskan diri secara penuh dari seluruh wilayah Palestina jajahan tahun 1948. (bsyr)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama